Sabtu, November 03, 2007

Rasakan waktu melambat beku

Masih dalam suasana lebaran Teringat Palembang, kota yang selalu jadi tujuan mudik keluarga kami setiap dua tahun sekali. . Mudik keluarga kami terhenti di tahun 1998. Tahun 2000 tradisi ini tak lagi ada. Selalu ada yang datang dan pergi. Dari balik kaca belakang jendela mobil saat melambaikan tangan kadang berpikir apakah sekarang saat terakhir kami mudik ke rumah panggung kayu ini. Akankah mereka menyambut dari kaca depan tahun berikutnya?

Kota sungai yang diklaim merupakan kota tertua di Indonesia sejak 683 M, menurut prasasti Kedukan bukit. Saya sendiri merupakan hasil perkawinan silang antara Ibu Sunda/Tasik dan Bapak dari Palembang. Kalau disingkat jadi agak unik juga PATAS, Palembang Tasik, atau PALSU Palembang Sunda. Berdasarkan perjanjian pranikah (wahhh..) Mama dan Papa mudik lebaran selang seling Tahun ganjil ke Tasik, tahun genap ke Pelambang. Kami tidak melihat nenek dan kakek kami menua begitu cepat, rasanya sama terus bentuk rupanya. Yang jelas mereka melihat kami tumbuh begitu cepat dalam hitugan dua tahunan, 0,2,4,6,8,10,12,16,... Hanya dengan delapan pertemuan umur kami sudah beranjak enam belas tahun. Mudik ke Baturaja, Kayu Agung,Palembang selalu saya nantikan, Rumahnya terbuat dari kayu dengan lantai papan mengkilat karena selalu digosok dengan minyak kelapa dan kemiri. Tanahnya luaas sekali, puas membersikan kebun membakar sampah daun daun kering mengisinya dengan batu kerikil putih 'limestone' sampai meledak pecah pecah seperti petasan. Apalagi kalau lebaran bertepatan dengan musim buah duren, duku, rambutan, rambe, tinggal panjat disekitar pekarangan. Biasanya satu petak (yang terdri dari banyak pohon rambutan) selalu disisakan untuk disikat para cucu.

Di hari kedua biasanya kami ke Kayu Agung sebelum melanjutkan perjalanan ke Palembang ,rumahnya tak kalah unik, tepat di depan sungai dengan deretan pohon kelapa sepanjang sungai yang konon diperintahnya kakek buyut. Didepannya ada langgar kecil dengan tangga ke arah sungai. Di depan teras rumah ini yang bertangga dua agak setengah lingkaran (Jaman itu tak sembarang rumah boleh bertangga kembar). Dari teras depan seberang jalan ini kita bisa melihat burung elang berputar-putar lalu tiba tiba menukik tajam menangkap ikan. Saat hari kedua di Kayu Agung (can be translated as Holywood) ada pawai midang, muda mudi berpakain pengantin adat dengan musik tanjidor. Katanya sebagai ajang buat mencari jodoh juga.

Mengingat pengalaman masa kecil ini baru tersadar betapa mahal pengalaman ini. Apakah anak anak nanti masih akan mudik dengan menikmati mandi di sungai, berlompatan menhindari lintah, menginap di rumah kayu tak berjendela kaca, dengan kloset berupa papan di lantai panggung yang dibolongi dengan bidang miring seng dibawahnya dimana kita bisa melihat luncuran prajurit kuning menghujam rimbunan pohon talas dibawah. Memakan rambutan langsung dari pohonnya. Akankah pengalaman seperti ini hanya akan bisa didapat dengan membayar ratusan ribu di fasilitas rekreasi outbound yang semakin marak di pinggiran Jakarta.

Soal perbadaan budaya juga unik karena dalam budaya Sunda Palembang dianggap sebagai sebuah negeri yang teramat jauh, seberang lautan. Dalam perspektif kuna ini seperti perkawinan Barat dan Timur. Bisa dilihat dari pepatah lama orang Sunda kalau ada seseorang yang sakit atau kena musibah..."Sieuh..sing jauh jauh siah...panyakitna..ka sabrang ka Palembang...." Gawat kan...semua yang jelek dibuang kesana, Tolonglah hentikan sumpah serapah ini hehehe, please deh..jangan kau sumpahi lagi aku wahai baraya sadulur. Soal berbicara orang Sunda berbicara halus dan pelan, disana orang orang berbicara keras dengan nada turun naik..Ooooyy nak kemano...?. Masuk akal kenapa terbiasa berbicara keras dari jendela rumah panggung aku bisa melihat dua orang ibu sedang berbincang dari jendala rumahnya (masing-masing)..sambil tertawa-tawa, padahal rumanya terpisah dua buah kebun berbatas tanaman jarak pagar berjarak sekira 400 meteran.

Kakeku M Yasin Adiah Toha (hehehe..mulai sekarang namamu tercatat dalam daftar pencarian google).Kita memanggilnya Aki Yasin dan 'Nek Tjik Mas seperti seorang cucu memanggil kakek dan neneknya di Bandung. Walaupun mereka berdua mempopulerkan istilah Yai dan Mbah, sepertinya gagal total argumen anak kecil apalagi yang keras kepala seperti kita sulit dibantah, udahlah samain aja biar nggak pusing. Dalam bahasan dusun di Baturaja Nenek berarti Kakek, dan Kajut (bukan kanjut) berarti Nenek. Kalau kami pakai dua panggilan ini semakin aneh. Mah..Kenapa sih Nenek Sirih itu laki laki? (Nenek Sirih, adalah kerabat kami ulama desa yang pernah bersekolah hingga ke mekah dan doyan mengunyah sirih). Kenapa ya kok nama istrinya aneh seperti... ? (Kajut Tjik Unah)

Aki Yasin ini petani di Baturaja membuka pembibitan di Lubuk Batang, Baturaja dengan Judul MYATO, seperti perusahaan Jepang ya, yang tak lain adalah singkatan namanya sendiri. Orang tua dulu ternyata sudah peduli dengan branding yah. Dari sekian banyak saudara-saudaranya hanya dia yang mau kembali ke dusun, desa kecil Lubuk Batang di Baturaja, bertani hidup swasembada dari sawah dan kebun sendiri. Rasanya bangga jadi cucu petani, karena Suharto pun presiden RI selaman 32 tahun dulu mengaku anak petani.Tak heran selalu fasih dalam acara temu petani. Presiden mendatang harus tahu banyak hal mulai bercocok tanam, IT, kalau perlu jago memasak dan menyanyi hehehe.

Tanah di Lubuk Batang tidak terlalu subur berwarna kemerahan banyak lempung, dengan pasir keputihan dan banyak batuan kapur. Sewaktu kecil senang sekali mengumpulkan berbagai macam batu yang aneh aneh, pasirnya pun aneh seperti gula pasir (pasir kwarsa untuk bahan kaca). Tanaman di pembibitannya kebanyakan tanaman keras hasil okulasi, berbagai bibit rambutan, duren. Hampir pasti dalam bagasi mudik ke Baturaja di mobil selalu ada polybag isi bibit tanaman varitas baru untuk ditanam disana atau tumpukan majalah trubus.

Bapaknya Aki Yasin berasal dari Baturaja, M. Toha Natadiredja bermata sipit tapi berkulit legam yang pindah ke Palembang bekerja di pengadilan. Foto beliau ternyata terpampang di Museum Sultan Badarudin palembang, dengan judul Contoh baju kesulantanan Palembang Darussalam, yang saat itu sebenarnya sudah masuk penjajahan Belanda. Istrinya putri salah satu pangeran Kayu Agung yang beristri empat. Bangsawan jaman dulu lah, makam istrinya berjejer empat disamping makamnya. Sewaktu kecil sempat terheran heran melihat makamnya, Pah ini makam siapa..?Istrinya.Ini...? Istrinya.Ini...? Istrinya.Ini...? Istrinya Kok banyak? Yah ini kan pangeran jaman dulu. Kalau aku pangeran bukan? dengan mata berbinar

Jadi kalau ditanya Palembangnya mana OKI atau OKU. Ogan Komering Ilir atau Ogan Komering Ulu? Ya keduanya. Daerah OKI sering didentikan dengan para pelaku kriminalitas, waduh gitu amat ya..mungkin identik dengan perilaku masyarakatnya yang keras, Tapi ini bukan cerita bohong dalam salah satu keluarga kami bisa jadi ada polisi dan bandit sekaligus. Bandit disini...ehm dalam arti sebenarnya. Masih tak percaya juga? Dalam sebuah cerita perantauan ayahku ke Jawa, sudah tak aneh bila ada keluarga dimana harus sanjo. Mengunjungi keluarga, silatuahmi jadi penting , menginap lebih bagus. Menginaplah ia, rupanya sedang ada rapat besar, bukan rapat keluarga tapi rapat rencana operasi......terkejutlah dia ternyata keluarganya di rantau bekerja seperti ini. Lebih terkejut lagi karena tamu tak diundang yang tiba tiba datang ini diperlakukan seperti keluarga tanpa menganggu jalannya rapat itu, dan dia bisa mendengarnya dengan sangat jelas sambil turut memakan cemilan di meja besar .Upss...sepertinya bukan cerita yang menarik untuk dibanggakan.

Masih ingat kalimat almarhum Papaku, anak laki laki itu harus tahu silsilah keluarganya. Waduh...sewaktu kecil sempat melihat coretan silsilah ini yang ujung-ujungnya dari keluarga di Baturaja perambah hutan ini bernama Jawa perantauan jaman keruntuhan Majapahit atau Mataram Islam. Tak begitu jelas juga dimana kertas kertas itu disimpan. Yang jelas pertanyaan Om itu saudara dari mana ya? Walaupun pasti dijawab dengan semangat, ...jawabannya yang panjang dan lebar kadang menarik empat generasi ke atas yang membuatku bertanya balik dalam hati, Kenapa tadi tanya ini ya..

Kekerabatan di daerah Sumatera Selatan menjadi penting, budayanya memang begitu guyub. Saudara yang di budaya Sunda, Jawa, disebut saudara terseret karena hubungan ipar disana bisa jadi masih saudara dekat. Apalagai saudara satu garis dari garis keturunan bapak, itu saudara dekat.Dan jangan dilupakan juga masih ada saudara seperjuangan, saudara seperantauan, saudara karena hutang budi. Sewaktu pulang shalat Ied di Lubuk Batang, kampung kakek di Sumatera Selatan. Saat banyak orang saling sapa. Pah itu saudara juga? iya itu anaknya Nenek Rom depan rumah . kalo Om yang Tadi? Iyah Itu anaknya nenek Sirih dan Kajut Tjik Unah yang rumahnya tinggi itu.Itu? iya itu cucunya...Jadi yang mana lagi yang saudara? Semua orang di Lubuk Batang ini bersaudara...Oh, dengan nada tenang tampang bingung. Jangan jangan kamu saudarak juga?

Kemana ya anak anak masa datang akan mudik, tergantung di mana kakek dan neneknya berada. Mungkin Jakarta, Bandung, Semarang, Yogayakarta, Surabaya dan kota kota besar lainnya akan menjadi tujuan mudik generasi selanjutnya. Jakarta itu pilihan bukan harga mati, ayo berpencarlah. Indonesia amatlah luas. Akankah anak cucu kita masih bisa bergelayutan di pohon mangga saat mudik atau memenuhi mall mall dan arean bermain dan pusat perbelanjaan.

Terimakasih untuk kakeku yang menghadiahkan mudik lebaran yang teramat mewah, pilihanmu menjadi orang kampung memang tepat. Aku benar benar menikmatilah saat tangan itu mulai dilambaikan dari balik kaca belakang, nikmati setiap gerakannya, rasakan waktu melambat beku. Biarkan waktu berjalan, rumahku ada di ujung jempol kakiku.







8 komentar:

prabhamwulung mengatakan...

"Jakarta itu pilihan bukan harga mati, ayo berpencarlah.Indonesia amatlah luas." ah ah.. setuju..
dari aku yang terpaksa tinggal di jakarta

imgar mengatakan...

koq aku merinding ya bacanya..
mmm..yang pasti..:
-blom pernah ke palembang..
-baru tau kalo mpri itu keturunan palembang. oh..tapi dari situ kali ya..kulit dan muka 'asia'nya.. :D

ikeow mengatakan...

yuk ke palembang lagiiii.....
i looooove palembang!

Anonim mengatakan...

Nanda,
Cerita yang betul menarik, terlebih di "yang di budaya Sunda, Jawa, disebut saudara terseret karena hubungan ipar disana bisa jadi masih saudara dekat" - contoh kongkretnya, tante Dewi cucu Yai Toha, Om Anto cucu Nenek Kur. Yai Toha dan nek Kur punya bapak yang sama dari istri yang berbeda; Pangeran Muhammadiyah dari Lubuk Batang.

Nina Bastari mengatakan...

Kito Buat Ikatan Keluarga Besar Pangeran Muhammadiyah yuuk. Aku jugo salah satu cicit PM. Aku cucung Anangtjik dan anak ke enam dari Bastari Anangtjik. Namo aku Dwadja Bastari 021 70701234

Nina Bastari mengatakan...

Aku kenal dgn keluarga Om Yulis Toha yg di Tebet Jkt. Tlp2 yo. Tks

Nina Bastari mengatakan...

Awal Des 2010 yg lalu aku pulang ke Lubuk Batang, dan sempet diskusi dgn Keluarga Besar PM ttg ide ini, dukungan sangat besar. Rencana aku nulai dgn membuat database yg pacak diakses secara online. Mdh2n niat ini pacak kito realisir, amin

Unknown mengatakan...

Saya kenal dengan Wak Yasin Toha dan Wak Yulis Toha karena saya keponakan dari Wak Siri adalah kakak tertua dari bapak namanya A.Z Akmal Gani, dulu saya sering datang ke lubuk batang baru dan tinggal di rumah besar milik nenek kami (Abdul Gani) semasa Wak siri masih ada sekarang mereka sudah tiada.
Salam kenal
Engelhartia A Gani
085218858603